Perdebatan Pemikiran Tokoh Sosiologi

Perdebatan Pemikiran Tokoh sosiologi
(Sebuah Kajian Literatur dan Studi Lanjutan Tentang Teori Dasar Ilmu Sosiologi)
M. Abdi Azzara

 


 ilmu sosiologi dilatar belakangi oleh berbagai peristiwa, akibatnya perbedaan sudut pandang menjadi hal penting dalam penentu lahirnya sebuah teori. Tokoh-tokoh klasik sosiologi cendrung menganalisis peristiwa yang berbeda. Hal ini tergantung dari ketertarikan  dan latar belakang pemikiran masing-masing ahli. Jika aguste comte mengemukakan teorinya melalui peristiwa revolusi prancis maka kalr marx memulai penelitian nya pada masyarakat inggris. Berbeda dengan Emile Durkheim yang melihat masyarak secara menyeluruh melalui konsep fakta sosial. Pandangan ini memiliki pertentangan yang kuat dengan rekan nya yaitu max webber yang berfokus kepada konsep tindakan sosial. Perdebatan-perdebatan ini tentunya bukan tanpa alasan perbedaan cara berfikir dan tingkat kompleks nya sebuah peristiwa sangat mempengaruhi lahirnya sebuah teori. 
Memahami teori sosiologi membutuhkan banyak waktu. Mengawali pemahaman tentang asumsi dasar tidaklah cukup. Maka penting memahami bagaimana perdebatan pemikiran dari masing-masing tokoh dan mengelompokan pemikiran masing-masing teori melalui pemahaman latar belakang peikiran. Seringkali kita tidak dapat memahami secara kompleks bagaimana sebuah teori bisa lahir. Perdebatan-perdebatan ini tidak jauh dengan pembahasan kritik-kritik dalam perkembangan teori. 
Memulai pemikiran aguste comte, yang dikenal sebagai bapak ilmu sosiologi yang memulai debut nya pada kajian sosial. Comte meyakini bahwa perlu ada sebuah cabang ilmu baru yang lebih kompleks dalam memahami masyarakat.  Era dimana munculnya ilmu sosiologi pertama kali sering disebut dengan era kebangkitan modern. Itu sebabnya sejarah ilmu sosiologi era aguste comte penting untuk dipelajari. Sebelumnya sudah ada tokoh-tokoh yang mengemukakan permasalahan sosial seperti Aristoteles, Plato, Thomas More, dan Ibnu Kaldum. Meskipun begitu tetap tokoh sosiologi yang dianggab sebagai pemegang momentum penting dalam perkembangan ilmu sosiologi adalah Aguste Comte. Jika sebelumnya pemikiran tentang kajian sosial dilakukan melalui proses filsafat maka aguste comte dianggab sebagai penegak batu pertama ruang lingkup, objek kajian serta focus utama ilmu sosiologi sebagai pembeda dengan ilmu-ilmu lainya. Tentunya aguste comte mengemukakan teorinya melalui proses yang bersifat ilmiah. Aguste Comte sendiri dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran evolusionis dan nantinya juga mempengaruhi pemikiran dari emile Durkheim dan Harbert Spencer dalam melihat evolusi dalam masyarakat. 
Tokoh-tokoh kajan masyarakat sebelum Aguste Comte tidak serta merta dianggab sebagai seorang ilmuan, pemikiran mereka sering dianggab sebagai sebuah filsafat. Akibatya teori-teori yang dikemukakan cendrung dianggab lemah. Dikarnakan mereka lebih mengutamakan bagaimana system berfikir tanpa melakukan kajian observasi, penelitian, dan pengujian. Pada masa sebelum Aguste Comte kajian-kajian kemasyarakatan jauh dari kata ilmiah, maka pada abad ke 19 sosiologi mulai dikenal sebagai sebuah ilmu pengetahuan baru, karna tergolong baru tentu pada masa nya memiliki permasalahan-permasalahan diantaranya adalah keterbatasan dan perlu pengembangan lebih lanjut.
Comte mengemukakan hukum tahap pemikiran manusia, comte beranggapan untuk mencapai keteraturan dalam masyarakat perlu pemikiran yang positifistik. Comte mencoba melihat evolusi pemikiran manusia. Pemikiran teologis dan metafisik  merupakan cara pandang yang tradisional, bahkan  baginya agama-agama yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat belum mampu untuk menciptakan keteraturan, untuk itu masyarakat perlu agama baru yang bersifat modern guna mencapai keteraturan dalam masyarakat. Comte dianggab sebagai pendiri aliran positivism. Comte menjunjung tinggi factual dan memisahkan masyarakat dari yang subjektif dan objektif. Baginya masyarakat perlu dipandang sebagai alam yang terpisah dari subjek-subjek penelitian, fakta positif ini berarti fakta yang terlepas dari kesadaran individu. Comte memiliki latar belakang pendidikan imu eksakta, namun ia memulai debutnya pada ilmu fisika. Conte sangat menjunjung tinggi data-data factual oleh karena itu masyarakat dianggabnya sebagai bagian dari ilmu alam. Masyarakat adalah sebuah realitas yang terukur dapat diamati dan diteliti. Baginya  Ilmu sosiologi penting dipelajari guna memahami pola pola dan hokum-hukum sosial yang terjadi dalam masyarakat guna memprediksi kondisi kemajuan dalam masyarakat.
Comte adalah orang yang pertamakali menjelaskan konsep statistika dan dinamika. Dua konsep ini menjadi inti dan ligkup kajian ilmu sosiologi. Statistika dapat dipahami sebagai keteraturan yang terjadinya tidak direncanakan dan terjadi diluar diri individu, memehami statistika sosial sama halnya dengan memehami struktur sosial yang dijelaskan Emile Durkheim. Statistika merupakan kajian penting dalam ilmu sosiologi namun lahirnya sebuah struktur tentunya dipengaruhi dari sebuah pertumbuhan/ proses, ini yang disebut dengan dinamika. Konsep dinamika yang dikemukakan Comte sesungguh nya berisi tentang kemajuan yang terjadi dalam masyarakat yang terjadi secara alamiah, studi ini menjelaskan tentang perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Menurut Aguste Comte inilah yang paling penting dalam kajian ilmu sosiologi karena melalui pandangan positifistik melihat sebuah dinamika akan mengurangi sikap spekultaif dan memberikan fakta-fakta yang lebih akurat tentang perkembangan masyarakat dimasa yang akan datang. Pembagian  kajian ilmu sosiologi tadi bukan lah sebuah hal yang dapat dipisahkan karena untuk menjelaskan statistika sosial kita butuh memahami dinamika sosial dan sebaliknya jika ingin menjelaskan dinamika sosial kita butuh pemahaman tentang statistika sosial. Apabila statistika sosial adalah studi tentang keteraturan maka dinamika adalah studi tentang perubahan dalam masyarakat.
Tentunya hal yang tidak dapat dipungkiri adalah proses, masyarakat selalu berubah dan tahap pemikiran akan semakin ke arah depan. Intinya dibalik sebuah kemajuan tentu akan ada hal yang lebih maju semuanya tergantung dari perkembangan tadi. Maka tidak ada salahnya jika pemikiran Aguste Comte ini mendapat sebuah kritikan yang sifatnya pengembangan. Dan tulisan ini membuktikan bahwa cara berfikir manusia akan cendrung mengarah kemajuan sehingga ini yang akan menyebabkan terjadinya perdebatan dan perkebangan pemikiran umat manusia. Sesungguhnya Comte telah menjelaskan terlebih dahulu tentang akan terjadinya perdebatan ini. 
 Aguste Comte mendapat kritikan dari penerusnya yaitu emile Durkheim yang menyatakan ada hukum hukum yang lebih kongkrit dalam menjelaskan masyarakat. Tentunya yang menjadi focus utama kajian Emile Durkheim adalah Statistika Sosial. Seperti yang dijelaskan Comte Statistika dapat dipahami sebagai keteraturan yang terjadinya tidak direncanakan dan terjadi diluar diri individu, maka Durkheim memperjelas konsep ini melalui cara berfikir Fakta sosial. Durkheim mencoba menjelaskan masyarakat dalam hubungan sebab akibat dan Durkheim juga memahami struktur sosial selayaknya organism biologis, konsep analogi biologis ini dilatarbelakangi oleh pemikiran Harbert Spencer. Bahkan akar akar pemikiran biasanya selalu mengacu kepada kesimpulan Harbert Spencer untuk mengikuti penggunaan konsep Biologis. Tentunya Spencer dari segi pemikiran juga dipengaruhi oleh cara berfikirnya Aguste Comte.
  Analisis structural fungsional sesungguhnya pengembangan dari buah pikir Aguste Comte. Kita dapat memahami bahwa Durkheim beranggapan bahwa masyarakat sebagai sebuah materi yang dapat di ukur di uji dan diamati. Tentunya Durkheim juga memiliki cara pandang sama seperti pendahulunya, artinya mereka sama-sama penganut aliran Positivistik. Aliran ini dianggab sebagai mazhab ilmu pengetahuan yang paling mendasar. Dengan demikian Durkheim memberikan pernyataan untuk memahami sebuah fakta sosial maka dibutuhkan fakta sosial lainnya. Artinya tidak ada fakta sosial yang berdiri sendiri. Apapun yang terjadi dalam masyarakat dipengaruhi oleh fakta sosial lainnya. Fenomena ini dapat diukur dan dibuktikan secara empiris. Dengan demikian Durkheim menjelaskan aturan-aturan dalam metode sosiologi di dalam buku karangannya. 
Durkehim mencoba memberikan gambaran baru yang lebih spesifik perihal Statistika sosial, hal-hal yang menyangkut struktur sosial dijelaskan dengan menyeluruh. Masyarakat sudah ada semenjak individu itu ada, maka erat kaitan dengan konsep sosialisasi dan internalisasi. Kita ada secara sosial karna proses sosialisasi, masyarakat itu ada karna adanya enkulturasi. Maka sebenarnya Durkheim telah mencoba memahami proses sosial namun fokus dari pemikirannya adalah struktur sosial. Seperti yang ditulisakan sebelumnya mustahil untuk memahami struktur sosial tanpa memahami proses yang ada di dalamnya begitupun sebaliknya. Durkheim merupakan tokoh penting dalam aliran fungsional, pemikiran nya banyak mempengaruhi ahli-ahli lainnya, seperti Talcot Parsons, Robert K Merton dan tokoh-tokoh fungsionalise lainnya. 
Durkheim juga beranggapan keseimbangan membutuhkan adanya integrasi, namun sebelumnya perlu yang namanya solidaritas. Karna diikat saja tidak cukup maka merasa terikat menjadi inti dari sebuah ikatan sosial. Durkheim melihat masyarakat dalam sebuah jaringan dan jaringan ini disebut struktur sosial didalamnya terdapat komponen-komponen  memiliki fungsi masing-masing. Suatu system  perlu berfungsi untuk memeberikan output yang akan digunakan bagi  system lainya dan system mutlak harus selalu beradaptasi dalam mencapai keseimbangan. Kemudian inilah yang menjadi dasar pemikiran Talcot Parsons tentang pengembangan teori AGIL nya. Namun parsons memberikan arugem-argumen yang selalu mengisaratkan bahwa struktur sosial ini harus selalu dalam kondisi stabil. Maka perubahan-perubahan atau proses-proses yang terjadi dalam masyarakat cendrung tidak dihiraukan. Bahkan perubahan ini dianggab sebagai bentuk adabtasi sebuah system dalam mengahadapi gejolak pada struktus sosial masyarakat secara luas.
Maka Robert K Merton Menyampaikan bahwa ahli-ahli Fungsionalisme harus memperhatikan hal-hal diluar fungsi utama sebuah system. Dengan demikian kita dapat memahami bahwa ada hal yang membuat sebuah system  tidak selalu memberikan apa yang dibutuhkan oleh system lainya. Bahkan sebuah system juga memberikan output yang tidak ada manfaatnya sama sekali ke system lain. Maka ini yang nantinya memunculkan konsep disfungsi dan non fungsi dalam perkembangan pandangan Structural Fungsional. 
Sulit memang memahami apa yang menjadi penyebab perdebatan tokoh-tokoh ilmu sosiologi namun tidak jika kita memulai pemahaman secara menyeluruh tentang akar pemikiran dari amsing-masing tokoh. Perdebatan ini pada dasarnya memberikan efek positif bagi para sosiolog dimasa sekarang. maka tidak salah jika kita memahami sosiologi sebagai ilmu berparadigma ganda. Karna keterbatasan ahli dalam melihat sebuah fenomena yang mengakibatkan terjadinya kritikan-kritikan yang tentunya membangun cara pandangan yang lebih luas terhadap suatu fenomena. 
Kelahiran teori fungsionalisme tidak serta merta dijadikan acuan satu-satunya dalam perkembangan ilmu sosiologi. Melalui Karl Marx aliran-aliran fungsionalisme mulai mendapat tandingan, dengan cara pandang ekstrime nya menyatakan masyarakat tidak dibangun atas dasar keseimbangan saja, konflik memberikan peranan penting dalam statistika dan dinamika sosial. Pertanyaan nya bagaimana masyarakat dibentuk melalui konflik ? dalam pemahaman fungsional memang masyarakat dibangun atas dasar fungsionalitas. Namun ini menjadi kelemahan bagi penganut fungsionalisme, mereka mengacuhkan tentang proses-proses sosial yang pada dasarnya berbicara tentang perubahan sosial. Dari sini kita dapat memehami bahwa perubahan sosial tersebut tidak terjadi hanya karna proses adabtasi, melainkan proses atagonis dan dominasi-dominasi atas kepemilikan kekuasaan, factor ekonomi, dan politik.
Aguste Comte telah membagi kajian sosiologi dalam dua pembagian yaitu social statis dan social dinamis. Namun dalam beberapa perkara sulit untuk memahami keduanya secara bersamaan. Buktinya ada beberapa ahli yang menyatakan bahwa proses sosial adalah bagian dari struktur sosial artinya struktur sosial yang sangat mempengaruhi bagaimana individu dalam bertindak sedangkan dari sebagian ahli lainnya menyatakan proses sosial yang mengambil peran penting dalam membangun struktur sosial. 
Bagi karl marx konflik yang terjadi dalam masyarakat bukanlah sebagai wujut konflik individu melainkan wujud dari konflik structural. Dalam pandangan strukturalisme menafikan berbagai dampak dari sebuah proses sosial. Sebagai contoh pendistribusian factor produksi merupakan sebuah proses mobilitas ekonomi. Namun didalam proses tersbut tidak semua kalangan memperoleh kesempatan yang sama, pada akirnya menyebabkan ketimpangan dan membentuk sebuah stratifikasi dalam kehidupan sosial. Didalam perkara ini tentunya menimbulkan perebutan dan tuntutan yang berkaitan dengan kesetaraan. 
Konflik menjadi dasar dalam kehidupan masyarakat. Stratifikasi sosial sebagi bentuk social statis terjadi karna hal-hal yang tidak merata tadi. Dalam konsep Marx membagi masyarakat dikala itu menjadi dua, yaitu kaum Borjuis dan Proletar. Dikotomoni ini dilihat Marx sebagai inti dari masyarakat, maka pembagian kelas ini yang nantinya membangun Perspektif Konflik. 
Pada aspek sosial, keterbatasan buruh dalam mengakses jaringan sosialnya mengakibatkan individu-individu mengalami sebuah fenomena keterasingan, ini dijelaskan dalam teori Aleniasi. Sesungguhnya pemilik modal hanya akan berbicara laba sedangkan pekerja sebatas upah. Buruh hanya menginginkan kehidupan yang layak tidak seperti kaum borjuis yang lebih menyukai kekayaan yang berlimpah. Fakta-fakta ini yang nantinya menciptakan konflik antar kelas, konflik atas dasar tuntutan kehidupan yang lebih layak. Harapan marx dalam dikotomi ini agar masyarakat mampu memperoleh Kesadaran Kelas yang nantinya akan melahirkan Perjuangan Kelas. Namun marx menyatakan Perjuangan kelas ini tidak akan suskses apabila masyarakat masih berada dalam kesadaran palsu. Artinya meninggalkan cara-cara berfikir teologi yang membuat kaum buruh hidup dalam kepalsuan.
Gejala alienasi muncul dan berkembang semakin luas pada era masyarakat kapitalis/modern. Pada masyarakat tradisional atau pramodern relatif tidak ditemukan adanya alineasi. Disini dapat kita simpulkan bahwa kemajuan teknologi dan nafas kapitalis menentukan kondisi sebuah masyarakat. Kemudian bagaimana dengan nafas-nafas kapitalis ini, maka akan terjawab jika memahami etika protestan sebagai ruh dalam perkembangan kapitalisme.
Ternyata pandangan teologis tidak selalu menciptakan sebuah kesadaran-kesadaran palsu, jika Marx menyatakan agama sebagai penyebab terbentuknya kesadaran palsu maka webber menyatakan bahwa pemikiran-pemikiran teologis ini yang membangun sebuah idiologi kapitalisme yang tumbuh subur dalam system dunia. Sesungguhnya ini hanyalah perbedaan cara pandang, ketika sebuah fenomena dikupas dengan berbagai sudut pandang maka akan ditemukan fakta-fakta yang saling bertolak belakang. Buktinya dalam paradiga besar dalam ilmu sosiologi berkembang dengan krtitikan-krtikan. Bahkan teori-teori separadigma juga dikritik oleh penerusnya, ini sebagai bukti bahwa evolusi pemikiran manusia berkembang secara linear dan menuju tahap Positifistik.
Marx dalam perkembangannya juga memperoleh kritikan namun bukan menjatuhkan perspektif konflik melainkan memperbaiki perkembangan pandangan ini. Melalui penelitiannya Ralf Dahrendorf  membuktikan bahwa konflik tidak hanya terjadi pada dikotomi menurut kepemilikan factor produksi. Pandangan baru ini semakin kompleks dalam melihat perspektif konflik. Perhatian utama Dahrendorf adalah menganalisis konflik antarkelas. Tetapi bukan kelas ekonomi, melainkan kelas sosial. Hubungan antara kelas ekonomi, yakni pemilik modal dengan pekerja, tidak penting lagi dalam masyarakat industri modern (Post-Capitalist).  Hubungan kelas yang penting adalah hubungan antara kelas pemilik otoritas dengan kelas tidak pemilik otoritas.  Struktur sosial menciptakan ketimpangan otoritas maka dikotomi menurut Ralf Dahrendorf  adalah pembagian kelas menurut kepentingan.
Perpektif konflik kembali diperbarui oleh Lewis Coser yang pemikirannya juga dipengaruhi oleh paham-paham strukturalisme.  Coser mencoba menggabungkan anatara konsep fungsional dengan konflik. Kritik terhadap Ralf Dahrendor adalah teorinya diserang karena mengabaikan ketertiban dan stabilitas, padahal konflik adalah bagaian struktur sosial yang memiliki muatan Fungsional bagi keberlangsungan sebuah system. 
  Paradigma Struktural Fungsional dan konflik tidak serta merta menjadi satu-satunya acuan dalam perkembangan ilmu sosiologi, ada seorang tokoh klasik yang fanatic dengan aliran hermeunetik. Memahami masyarakat perlu kajian individu, hal terpenting didalam masyarakat adalah individu. Karna individu-individu menjadi penentu perkembangan masyarakat. Tokoh ini adalah Max Webber. Aliran-aliran fungsional yang beranggapan bahwa tindakan masyarakat didasari oleh struktur sosial dibantahkan oleh pandangan Webber. Baginya individu adalah makluk yang aktif dan kreatif. Weber melihat sosiologi sebagai sebuah studi tentang tindakan sosial antar hubungan sosial dan itulah yang dimaksudkan dengan pengertian paradigma definisi sosial dan itulah yang di maksudkan dengan pengertian paradigma definisi atau ilmu sosial itu. 
Tindakan manusia dianggap sebagai sebuah bentuk tindakan sosial manakala tindakan itu ditujukan pada orang lain. Interaksi dalam proses sosial mengisyaratkan sebuah tindakan sosial, tentunya dalam memahami sebuah interaksi kita harus menangkap hal-hal yang menjadi interpretasi dan tujuan-tujuan orang-orang melakukan kontak sosial. Tindakan-tindakan yang ditujukan didalam sebuah proses sosial adalah merupakan inti pemikiran Webber, sebaliknya tindakan-tindakan yang diarahkan kepada benda mati bukan sebagai bentuk tindakan sosial
 Webber megembangkan metode verstehen dengan demikian peneliti dapat memahami tindakan seseorang melalui istilah seni dalam memahami. Webber berpandangan tindakan individu tidak dapat diukur oleh karena itu sosiolog perlu cara pandang yang lebih menyeluruh terhadap sebuah fenomena. Tentunya metode ilmiah yang digunakan Webber bertolak belakang dengan yang dijelaskan Emile Durkheim. Webber membantah apa yang diasumsikan oleh Paradigma Struktural fungsional, baginya pandangan ini cacat dalam memahami individu sebagai actor dalam perkembangan struktur sosial. Individu bukan sebagai paksaan yang terikat dengan struktur sosial. Dan baginya strukturalisme gagal dalam menjelaskan perilaku-perilaku inkonstitusional. Faktanya nilai-nilai sudah dibentuk dan terlembaga dalam masyarakat namun ternyata masih ditemukan perilaku-perilaku yang melanggar Nilai dan Norma. 
Teori Webber ini kemudian dipakai dan dikembangan oleh ahli-ahli Aksi Sosial, Fenomenologi, Interaksionisme Simbolik, Dramatrgi dan Etnometodologi.  Hingga sekarang dalam memahami tindakan sosial para ahli-ahli masih menggunakan cara pandang Webber. Sepertinya sudah menjadi hukum tiga tahap Aguste Comte relative cocok dengan fenomena perdebatan tokoh-tokoh ini, bahwa pemikiran manusia akan terus berkembang linear ke arah yang lebih maju, maka tidak salah ketika kemapanan teori Webber dikritik dengan frontal oleh Alfred Schutz. Menurutnya gagasan-gagasan pemikiran Weber yang selama ini dipakai sebagai acuan pemikiran sosial banyak tidak jelasnya, kabur, dan inkonsisten. 

Alfred Schutz adalah seorang sosiolog sekaligus filosof, pada dasarnya pemikiran kedua tokoh ini sama sama berlandaskan tindakan sosial, namun pengungkapan makna tindakan sosial Webber yang menyatakan Tindakan manusia dianggap sebagai sebuah bentuk tindakan sosial manakala tindakan itu ditujukan pada orang lain sehingga tindakan ini memiliki makna yang dapat dipahami. Alfred Schutz membantah bahwa semua tindakan individu memiliki makna filosofis tersendiri bahkan jika ditunjukan pada benda benda mati. Tidak semua kontak antar manusia memiliki karakter sosial, seperti dua pengendara yang bertubrukan di jalan raya atau seorang pengguna trotoar yang menepi ketika sebuah motor ikut lewat ditengah pejalan kaki tersebut. Artinya tidak semua tindakan-tindakan yang ditujukan kepada orang lain memiliki makna dan karakter sosial.
Weber seperti dijelaskan oleh Schutz tidak menjelaskan perbedaan antara tindakan sebagai sesuatu yang tengah berlangsung, dan tindakan yang telah sempurna atau lengkap (completed act), demikian juga dia tidak menjelaskan makna pelaku (producer) atas suatu objek budaya dan makna dari objek yang dihasilkan, juga antara makna tindakan sendiri dengan makna tindakan orang lain, pengalaman sendiri dan orang lain, antara pemahaman diri sendiri dan pemahaman diri sendiri terhadap orang lain. Kelemahan teori webber ini adalah tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksut dengan tindakan dan perilaku, keduanya cendrung dianggab sama, kemudian webber juga tidak menjelaskan makna subjektif yang ditujukan kepada orang lain apakah dimengerti dan dipahami. Menurut Schutz peneliti tindakan sosial harus mampu memahami masa lalu dan masa depan actor sehingga dapat menyimpulkan makna sebenarnya tentang sebuah tindakan sosial
Dari pemaparan yang telah dijelaskan tampak sebuah pengelompokan pemikiran dari tokoh-tokoh ilmu sosiologi, sekarang kita sudah mampu memahami apa yang menjadi dasar perdebatan tersebut. Dalam buku karangan George Ritzer dalam bukunya Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda membagi teori-teori tersebut berdasarkan paradigma. Yaitu Fakta Sosial, Perilaku Sosial, dan Definisi Sosial. Ritzer sangat memahami apa yang menjadi dasar perdebatan dari masing-masing tokoh dengan demikian ia mampu mengelompokan teori-teori ini dalam paradigmanya masing-masing. Sedangkan Margaret M. Poloma dalam buku Teori Sosiologi Kontemporer mengelompokan teori-teori sosiologi berdasarkan asumsi dasar. 
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi seluruh pembaca, memahami teori sosiologi bukan perkara mudah, memehami asumsi dasar tidak cukup untuk memahami secara keseluruhan, memahami kritik atas teori perlu agar cara pandang kita terus maju, mengingat ilmu sosiologi selalu berkembang dan mengikuti arus perkembangan masyarkat luas. Maka setiap zaman nya ada tokoh-tokoh baru yang akan menjelaskan sekaligus memperbaiki bahkan menunbangkan teori sebelumnya. 


Daftar Pustaka
Bungin, Burhan. 2003. Data penelitian kualitatif. Jakarta: PT Raja 
Grafido persada.

Usman, Pelly.1998. Urbanisasi dan Adaptasi, Jakarta: LP3ES,.

Koentjaraningrat. 1965. Pengantar Antropologi, Jakarta: Penerbit Universitas.

George Ritzer & Douglas J Goodma. 2012. Teori Sosiologi.  Bantul : Kreasi Wacana.

Ritzer, Gorge. 2003. Sosiologo ilmu berpradigma ganda.  Jakarta: PT 
Raja Grafindo Persada

Polma, Margaret M. 2007. Sosiologi Kontenporer. Jakarta: PT Raja 
Grafindo Persada.

Robert M.Z. Lawang, 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modren.
Jakarta: Granmedia

Sztompka, Piort. 1993. Sosiologi Perubahan Sosial. Trj. Alimandan. 
Jakarta: Prenada Media.

Emzir. 2012. Analisis Data: Metodelogi Penelitian Kualitataif. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.













Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa itu Seni? Sebuah Pendekatan Ontologi

Kampus tidak Selucu itu (Refleksi dan Proyeksi)

Mengintip Kebenaran Fashion yang Relatif