Memberi Dukungan Teoritis Untuk Legalisasi Hemp Guna Pengobatan Herbal


Kebijakan sosial sangat berkaitan dengan masalah sosial, terutama masalah kesehatan. Kebijakan sosial pada hakikatnya merupakan bentuk respon terhadap masalah-masalah sosial. Beberapa tahun yang lalu kasus fidelis menjadi perhatian publik, kasus Fidelis menjadi salah satu dari sekian banyak masalah sosial yang berkaitan dengan pelayanan publik terutama bidang kesehatan. Masalah ini dimulai ketika Fidelis melakukan riset terhadap tanaman ganja Obat, akan tetapi malah dikriminalisasi. Masalah ini bukan hanya dirasakan Fidelis, di Indonesia para penderita Hiv, Kanker, Glaukoma, Alzaimer, Fibromyalgia, dll telah resah menunggu kapan ganja legal guna kepentingan medis. Sayangnya tak ada yang cukup berani seperti Fidelis. Orang-orang sedikit banyaknya telah menyadari, di negara lain khasiat ganja telah terbukti dan menjadi bahan pokok dalam pengobatan penyakit-penyakit tersebut. Ada saatnya ketika penggunaan ganja medis sebaiknya tidak lagi menjadi digolongkan sebagai tindakan kriminalitas melainkan sebagai sebuah perilaku biasa (dekriminalisasi)

Badan narkotika Nasional atau BNN menyatakan jumlah penggunaan narkoba pada tahun 2019 meningkat dari 0,03% menjadi 3,6 juta orang. Fakta ini tentunya berkaitan dengan tingginya permintaan dan bisnis narkoba yang menjanjikan secara ekonomi. Pengguna narkoba rata-rata berada di rentang usia 15-65 tahun, dan tanaman ganja masih menjadi favorit dengan presentase 62%. Secara keseluruhan semenjak tahun 2011 hingga 2018 jumlah  pelaporan kasus narkoba terhitung sebanyak 14.010 kasus,  diantaranya termasuk pengguaan tumbuhan ganja sebagai pengobatan.

Ganja sehagai tumbuhan budaya, Penggunaan ganjanya di Indonesia sudah berlangsung jauh sebelum zaman kolonialisme. Memang tidak semua masyarakat yang memaknainya sebagai sebuah pengetahuan lokal. Akan tetapi pengguna ganja secara tradisional di indonesia kebanyakan ditemukan di bagian utara pulau sumatera, khususnya wilayah profinsi Aceh. Menurut catatan sejarah tanaman ganja berasal dari wilayah Laut Kaspia kemudian berkembang diwilayah nusantara. Tidak hanya itu menurut catatan, tanaman ganja juga dibudidayakan sampai ke pulau jawa. Masyarakat Aceh sendiri mengungkapkan bahwa tanaman ini diolah dan digunakan untuk kepentingan pengobatan, spritual, kuliner, dan upacara adat. Merujuk kepada kitab Mujarabat dan Tajul Muluk, yang menjelaskan landasan-landasan agama dalam penggunaan tanaman ganja untuk kepentingan medis. 

Kekawatiran terkait ganja di Hindia-belanda pertama kali dibahas pada Konferensi Opium Internasional pada tahun 1912 di Den Haag. Pertemuan ini menyepakati bahwa seluruh tumbuhan maupun olahan yang mengandung zat psikoaktif dilarang peredarannya. Kesepakatan ini berujung pada perumusan Dekrit Narkotika tahun 1927. Berawal dari kesepakatan ini pasca kemerdekaan pemerintah Indonesia mulai membentuk peraturan-peraturan baru terkait peredaran Narkotika kususnya tanaman ganja. Jadi pada dasarnya UU mengenai tanaman ganja hanya warisan dari masa kolonialisme, tanpa pernah di pertimbangkan sisi positif dari tanaman ini.

Antara tahun 2009 dan 2012 tercatat 37.923 orang yang dipenjarakan karena penggunaan ganja. Artinya sebanyak 26 orang dihukum setiap harinya. Tentunya hal ini menimbulkan masalah baru. Memang penggunaan ganja untuk kepentingan penelitian diperbolehkan, akan tetapi hasilnya sangat minim dan bahkan tidak ada sama sekali. Fakta ini Merujuk kepada UU nomor 33 tahun 2009 tentang narkotika pasal 13 tentang legalitas ganja dalam rangka penelitian. Selain itu penggunaan narkotika secara medis menurut pasal 53 hanya sebatas untuk kepentingan rehabilitasi (Olahan Ekstraksi) terutama penggunaan narkotika golongan III. Undang-undang narkotika di indonesia sudah berkembang semenjak 1927 dimulai dengan dekrit Narkoba, UU No 9 Tahun 1976, UU No 22 Tahun 1997, dan terakir UU No 35 tahun 2009. Kesimpulannya tanaman ganja legal untuk kepentingan medis (Rehabilitasi) dan penelitian. Akan tetapi tidak sepenuhnya benar, Narkotika golongan I tidak akan pernah bisa dikonsumsi didistribusikan disimpan diolah dibudidayakan dilakukan riset. Tentunya hal ini bertentangan dengan tujuan UU tersebut yaitu menjamin ketersediaan untuk kepentingan medis dan penelitian.

Perdebatan legalisasi Ganja terutama untuk kepentingan pengobatan diributkan pada saat munculnya kasus Fidelis. Kasus ini bukan pertama kali terjadi, sebelumnya menurut ketua Komunitas Lingkar Ganja nusantara sudah banyak kejadian serupa namun tidak muncul di media masa. Fidelis terjerat pasal 113 ayat (2), pasal 111 ayat (2), dan pasal 116 ayat (1) UU No 35 tahun 2009.  Fidelis melakukan ini atas dasar keterpaksaan karna istrinya mengidap penyakit Syringomyelia atau tumbuh kista berisi cairan di tulang belakang. Yang dilakukannya pada dasarnya untuk menunjang kehidupan istrinya. Fidelis secara mandiri melakukan riset dan melalui percobaannya istrinya berangsur-angsur membaik hingga akirnya Fidelis ditangkap dan istrinya meninggal karna tidak lagi mengkonsumsi ganja.  Faktanya dokter tidak mampu meberikan pengobatan,  artinya ketidakmampuan lembaga kesehatan untuk menjamin kesehatan para penderita penyakit tertentu memicu orang-orang secara individu untuk menantang hukum dengan riset pribadi. Hingga detik ini penelitian terkait tanaman ganja sama sekali tidak ada. Padahal di negara-negara seperti Amerika, Uruguay, Kanada, Inggris, Thialand, Srilangka, dll tumbuhan ganja melalui riset sudah dilegalkan. Setidaknya negara-negara tersebut telah memahami tumbuhan ganja berguna untuk pengobatan penyakit.

Masalah ini terjadi tentunya berkaitan dengan kebijakan. Jika dilihat menurut ruang lingkup atau cakupan nya UU No 35 tahun 2009 bersifat Universal. Artinya kebijakan ini mencakup bagi seluruh masyarakat indonesia tidak terkecuali dalam kasus-kasus luar biasa yang terjadi pada keluarga Fidelis. Mengingat tumbuhan ganja masuk kepada golongan I maka dalam pasal 12 UU No 35 Tahun 2009 menjelaskan jangankan untuk mengkonsumsi memproduksinyapun dilarang. Artinya tidak ada pertimbangan untuk tanaman ini  digunakan sebagai obat. Akan getapi sebelumnya pada UU No 9 Tahun 1976 narkotika jenis ganja diberikan izin untuk kepentingan medis, baik itu menyimpan, menyalurkan, menjual, menyerahkan, mengirimkan, dan mengangkut. Ketentuan ini jelas dalam pasal 5 UU No 9 Tahun 1976. Model retrospektif digunakan dalam perumusan UU No 35 Tahun 2009, artinya kebijakan ini dibuat berdasarkan evaluasi kebijakan sebelumnya. Akan tetapi seharusnya jika pada masa Orde baru pemerintah berani memberi izin untuk menggunakan ganja untuk kepentingan medis lantas mengapa UU sekarang malah memperketat dan menutup kemungkinan kemajuan Medis? Bukankah tanaman ganja adalah kearifan lokal mayarakat nusantara? Masalah ini terjadi tentunya akibat model formulasi kebijakan yang tidak tepat. Seringkali diskriminasi tanaman ganja dikaitkan dengan elit politik. Kecurigaan kian muncul, biasanya harga tinggi untuk barang langka adalah hukum perdagangan. Akibatnya mafia-mafia mematok Indonesia untuk dijadikan pasar besar karna disini Ganja bisa sangat menjanjikan untuk bisnis mereka.

Model formulasi kebijakan yang bersifat kelembagaan ini berakibat pada intervensi dan monopoli kehidupan secara luas. Akibatnya kebijakan diperuntukan secara universal tanpa mempertimbangkan aspek lainnya. Kita diatur oleh sesuatu yang berada diluar diri kita. Bagaimana jika manusia punya hak untuk menentukan apa yang seharusnya baik bagi mereka? Kondisi ini cocok untuk menggambarkan tidak sempurnanya UU narkotika dalam mengatasi masalah terkait penggunaan tanaman ganja untuk kepentingan Medis.

Menurut konsep Negara Sejahtera, kesejahteraan mengandung makna meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Lalu bagimana dengan kasus Fidelis? Lembaga kesehatan tidak mampu mengobati bahkan ketika ganja dijadikan alternatif lain penggunanya malah dipidanakan. Regulasi tentang kebijakan penting untuk dipertimbangkan karna kebijakan sosial menyangkut dalam kehidupan masyarakat banyak. Pemerintah memiliki kewajiban dalam menjamin kesehatan masyarakatnya. Penyakit-penyakit seperti HIV, Kangker, dll hingga saat ini penanganan nya masih belum tepat dan cepat. Kemoterapi atau operasi hingga detik ini masih menjadi solusi. Penggunaan tanaman ganja justru mengurangi resiko-resiko efek samping dari pengobatan kimiawi. Untuk itu negara-negara lain sudah membuktikan bahwa tumbuhan ganja layak menjadi tumbuhan medis.

Kebijakan sosial diwujudkan salah satunya melalui perundang-undangan, dalam analisis kebijakan ini terkait penggunaan ganja sebagai tumbuhan obat perlu dipertimbangkan lebih lanjut. Akan tetapi faktanya legalisasi ganja untuk  keperluan medis sepertinya mustahil untuk saat ini. Riset mendalam terkusus untuk tanaman ganja sepertinya tidak dilakukan buktinya dalam UU No 35 tahun 2009 tumbuhan ganja disamaratakan dengan narkotika jenis lainnya. Dapat disimpulkan pola pikir tradisional peninggalan kolonialisme masih dianut hingga saat ini, meskipun pencetusnya sendiri telah melegalkan penggunaan ganja baik untuk keperluan medis maupun rekreasi. Pantas saja UU No 35 Tahun 2009 menjadi pro dan kontra, hingga terbentuknya sebuah komunitas yang menuntut legalisasi ganja untuk komunitas ini bernama Lingkar Ganja Nusantara.

Seringkali implementasi kebijakan memunculkan masalah baru. Untuk itu butuh analisis dalam implementasi kebijakan-kebijakan tersebut. Adapun saran-saran yang dapat diberikan akan dipaparkan dalam paragraf berikut

Penulis tidak setuju dengan penggunaan ganja untuk kebutuhan rekreasi, karna penggunaan seperti ini malah banyak dampak negatifnya. Setidaknya ada kebijakan sosial baru yang megatur penggunaan ganja sebagai golongan tumbuhan medis. Apakah nantinya ganja diturunkan dari narkotika golongan I ke golongan II atau III. Apabila ganja masih berada pada golongan I maka tidak ada regulasi yang mengatur untuk penggunaan terkusus keperluan medis. Untuk itu perlu revisi Undang-undang No 35 Tahun 2009 untuk memperbolehkan Ganja sebagai tumbuhan medis. Mengingat manfaat tumbuhan ini, selain memiliki manfaat medis tumbuhan ganja memiliki nilai ekonomis untuk perdagangan ekspor. Banyak diantara negara-negara maju sangat membutuhkan ganja dengan kualitas yang baik. Indonesia sendiri dikatakan sebagai penghasil tanaman ganja dengan kualitas nomor satu. 

Kemudian merujuk pada Hazmanian dan Sabatier yang menyatakan seberapa jauh kebijakan tersebut mempunyai dukungan teoritis maka sangat menentukan keberhasilannya. Artinya Selama belum dilakukan riset laboratorium mengenai khasiat tanaman ganja untuk medis maka ganja masih akan tetap dilarang oleh undang-undang. Untuk menunjang kebehasilan undang-undang ini agar tidak ada lagi kasus-kasus seperti keluarga fidelis maka pemerintah seharusnya betul-betul menerapkan tujuan undang-undang ini sesuai dengan pasal 4 poin (a) yang menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan kesehatan atau pelayanan ilmu pengetahuan. Lakukan penelitian revisi undang-undang dan bentuk regulasi kebijakan baru yang mengatur penggunaan tanaman ganja. Kemudaian dilihat dari karakteristik masalah, tingkat kemajemukan masyarakat mempengaruhi suatu kebijakan. Indonesia sebagai negara heterogen, , ada masyarakat yang sudah akrab fengan tumbuhan ini dan ada pula yang tifak, sebagai contoh masyarakat aceh. Ganja sebagai betuk kearifan lokal telah melekat dalam kehidupan mereka. Bahkan dalam gejolak GAM tanaman ganja bertahun-tahun menjadi sumber pemasukan kelompok tersebut. Pada akirnya kelompok-kelompok pemilih akan bermunculan hal ini membuktikan bahwa lingkungan kebijakan mempengaruhi keberhasilan. Pada akirnya tidak semua bisa menerima dan tindakan paksaan menjadi jalan keluar.

Adapun bentuk konkrit untuk mewujudkan legalisasi ganji demi kepentingan mesis adalah sebagai berikut: pembentukan badan penelitian, badan pengawas ganja nasional, peraturan utuk pembudidayaan, sanksi untuk penyalahgunaan dan pengaturan terkait distribusi. Dengan demikian hal-hal yang menjadi ketakutan terkait penyalahgunaan tanaman ganja akan teratasi. Mengingat banyak nya kasiat tanaman ini ketimbang mudaratnya maka sebaiknya UU No 35 Tahun 2009 ditinjau kembali. 

Melihat adanya pro dan kontra terhadap kriminalisasi tanaman ganja, diketahui pada akhirnya  setiap kubu akan memiliki kepentingannya sendiri. Sehingga baik kelompok pro dan kontra masing-masing memiliki kepentingannya sendiri. Untuk itu jika ganja legal di indonesia maka Komunitas Lingkar Ganja (LGN) menjadi lembaga yang paling diuntungkan untuk hal ini. LGN sendiri memiliki yayasan sendiri terkait riset manfaat tanaman ganja. Penelitian mereka belum memuahkan hasil. Bahkan pusat informasi dan publikasi artikel-artikel ilmiah mereka diretas oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Artinya indonesia masih menjadi negara yang konservatif terkait pemanfaatan tumbuhan ganja. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa itu Seni? Sebuah Pendekatan Ontologi

Kampus tidak Selucu itu (Refleksi dan Proyeksi)

Mengintip Kebenaran Fashion yang Relatif