Basa-basi Politik, Seni pun TERJERAT.


Basa-basi Politik, Seni pun TERJERAT.


            Pemilihan umum memasuki tahap rekapitulasi, beragaam tanggapan terhadap KPU, bermacam opini dilayangkan. Pro dan Kontra adalah hal yang biasa, tapi apakah ini murni dari akal sehat masyarakat? Hingga detik ini masyarakat dibuat bingung, siapa yang benar siapa yang salah. Politik adalah sebuah cara, hakikatnya sebagai upaya mensejahterakan kehidupan bangsa. Politik tidak harus dipelajari di ranah pemerintahan, pada dasarnya manusia harus berpolitik semenjak lahir. Bayangkan jika manusia tidak mampu berpolitik, maka boleh diragukan eksistensinya sebagai manusia. Hewan jika menginginkan sesuatu diawali dengan pertarungan fisik, bahkan untuk makan musti berkorban nyawa. Maka akal satu-satunya yang membuat manusia mampu memperoleh kehendaknya secara terhormat, yaitu dengan berpolitik.
            Politik dalam pemerintahan seringkali mengatas namakan rakyat. Meskipun begitu pada dasarnya manusia memiliki ego. Sangat sulit untuk melihat ketulusan dari pemimpin, terlebih pada zaman sekarang, yang saya sebut “jaringan Kepentingan Dunia”. Politik secara sederhana adalah cara dalam memperoleh suatu kehendak, tetap saja ini permasalahan ego.  Dalam tataran lebih tinggi politik adalah upaya merebut kekuasaan setidaknya berbagi kekuasaan. Opini ini yang berkembang di tengah masyarakat, boleh saja menaruh harapan kepada manusia, tapi boleh ingat manusia punya ego.
            Dua pasang Capres beradu kekuatan melalui koalisinya masing-masing. Bukan hanya koalisi partai masyarakat juga ikut menghimpun kekuatan untuk masing calon. Untuk saat ini sangat sulit untuk menemukan orang-orang yang betul bersikap netral. Tahun-tahun politik sangat bodoh kiranya untuk mendeklarasikan sikap netral, ya soal dukung mendukung itu penting, sebab kita tidak akan menerima dipimpin oleh orang yang dianggab tidak kredibel. Seluruh organiasi penting juga terlibat dalam kontestasi ini, tidak terkecuali organisasi keagaam disertai pemuka-pemuka agama. Kemudian beredar isu bahwa pemuka agama dilarang berbicara politik, tapi musisi boleh-boleh saja? Kita tau siapa yang memang betul-betul peduli untuk permasalahan keumatan dan kebangsaan. Kita yang berakal juga sadar siapa yang hanya punya peranan propaganda. Siapa bilang mereka tidak boleh bicara politik? Seperti yang saya katakana tadi soal dukung mendukung itu penting, ini masalah masa depan bangsa, didalam bangsa ada umat, ini bukan perkara spele. Disisi lain seni juga puya manfaat, yaitu sebagai bahasa umat. Terlebih para musisi besar punya fans garis keras dari ujung kaki sampai ujung kepala sangat mencerminkan idolanya. Inilah yang dimanfaatkan oleh para politikus negri saat ini.
            Beragam bahasa politik yang mereka gunakan, sangat disayangkan seni dijadikan propaganda. Mulai dari bikin jingle paslon sampai lirik yang bermuatan kompanye. Ini perilah estetika dan politik, fenomena ini mudah saja dijelaskan secara teoritis, karna pada dasarnya seni adalah upaya interpretasi manusia terhadap pengalaman-pengalaman batinnya dalam bentuk karya yang indah. Tapi saya tekankan ini adalah hal yang berbeda, seniman sah-sah saja untuk menampilkan karya seputar kritik social. Tapi lucunya mana esensi seni ketika para seiseni diabayar hanya sekedar untuk Propaganda. Seni tidak baik untuk hal yang kotor seperti ini, sangat menjijikan. Beberapa waktu lalu selama masa kompanye berlangusng salah satu Capres dipemilu 2019 mengadakan kompanye akbar yang ditutup oleh salah satu band papan atas dan  500 seniman lainnya. Mereka dibayar, tapi saya ragu apakah karya-karya itu murni dari manifestasi pengalman batinya atau terdorong uang. Terlebih seni sangat erat kaitannya dengan masa, bukan hal yang sulit menggunakan jasa musisi/seniman untuk mendatangkan masa yang banyak. Terlebih ketika nyayian-nyanyian tadi karya-karya tadi diperdengankar dipetontonkan secara berulang-ulang ke masyarakat. Alhasil sedikit demi sedikit metode propaganda akan sukses.
Beda lagi dengan para pemuka agama, mereka bukan berkompanye. Tapi mereka memberi tau siapa yang lebih pantas memimpin umat dan bangsa ini. Bukan masalah propaganda, mana mungkin mereka menginginkan pemimpin yang nyleneh. Salah besar jika memisahkan antara agama dan politik. Anda tau kebenaran hakiki di atas kebenaran manusia? ya kebenaran dari sang pencipta. Agama adalah ideology tapi ideology bukan sebagai agama, yang jelas keduanya sama-sama mengatur kehidupan manusia. Bedanya yang satu datang dari tuhan dan satulagi dari manusia. Idiologi adalah budaya, ide gagasan, idiologi mengatur segala aspek kehidupan termasuk masalahan politik, ekonomi, social, budaya, pendi, dan lain-lain. Sama hal nya dengan agama, agama juga mengatur masalahan politik, ekonomi, social, budaya, pendididikan, konyol jika para pemuka agama dilarang berbiacara politik, tiap-tiap agama tentunya mengajarkan kebaikan tergatung kita menfasirkan kebaikan nya seperti apa. Sangat lucu ketika sebagian besar ulama dituduh terlibat politik praktis ? Tapi Separo nya lagi gimana? Silahkan anda yang menilai  sendiri. Tapi tetap yang pantas disebut sebagai pelaku politik praktis adalah 500 seniman dan musisi tadi. Seni bukan berarti bebas dalam artian yang sebenarnya, tapi ingat seni punya hakikat yg lebih dari sekedar untuk Propaganda
“Memang segala macam dilakukan, mungkin mereka tau pemuka agama lebih berpengaruh soal suara. Makanya ustad dilarang bicara politik”
Penulis. M. Abdi Azzara

Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Disi lain memang sepearti itu bung, cara kita memandang berbeda, tapi kebebasan dalam seni itu bukan berarti tanpa melihat aspek estetika, bagi saja seni sebagai propaganda bukan lagi sebuah estetika. Tapi ini sudah semakin baik untuk anda, menandakan anda tampak indie

      Hapus
  2. Well,, kita bebeas berpendapat,.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa itu Seni? Sebuah Pendekatan Ontologi

Kampus tidak Selucu itu (Refleksi dan Proyeksi)

Perubahan Fungsi Tradisi Simuntu dalam Kehidupan Masyarakat Koto Gadang VI Koto