Perubahan Fungsi Tradisi Simuntu dalam Kehidupan Masyarakat Koto Gadang VI Koto



PERUBAHAN FUNGSI TRADISI SIMUNTU
DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT NAGARI KOTO GADANG VI KOTO


ABSTRAK
M. ABDI AZZARA. “Perubahan Fungsi tradisi Simuntu dalam Kehidupan Masyarakat Nagari Koto Gadang VI Koto. Skripsi, Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi, Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang, 2018
 Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perubahan fungsi pada tradisi Simuntu. Pokok permasalahan dari penelitian ini adalah tentang bentuk perubahan fungsi tradisi simuntu sehingga mampu untuk menemukan faktor penyebab perubahan tersebut. Permasalahan dianalisis menggunakan teori perubahan tindakan Talcot Parsons dalam paradigma Struktural Fungsional. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Subjek penelitian adalahpelaku tradisi simuntu serta tokoh masyarakat yang bertindak selaku ninik mamak dalam perkembangan adat istiadat dan budaya lokal. Pengumpulan data dilakukukan melalui observasi, studi dokumen, dan wawancaraHasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tradisi Simuntu yang ada di Nagari Koto Gadang VI Koto muncul pasca peristiwa perang paderi kemudian bentuk perubahan dibagi menjadi dua yaitu periode Kolonialisme hingga Zaman Pemerintahan Orde Lama dan Orde baru hingga sekarang. 2. Tradisi Simuntu daerah Koto Gadang  saat ini sudah mengalami perubahan dari segi fungsi. Proses awalnya Simutu dilestarikan dalam pertunjukan tradisi kesenian tahunan serta dikelola secara koektif. namun dalam proses perkembangannya saat ini Simuntu lebih cendrung digunakan sebagai fungsi Self Orientation 3. Perubahan yang terjadi pada Tradisi Simuntu merupakan upaya dari masyarakat guna proses adaptas tradisi, serta faktor yang mempengaruhi ditinjau dari kondisi internal dan eksternal dari masyarakat itu sendiri seperti pemahaman akan budaya local yang rendah, sosial budaya, modrenisasi, kondisi pemerintahan, dan ekonomi masyarakat setempat.
Kata kunci: Perubahan Fungsi, Tradisi Simuntu
A.              Pendahuluan
            Istilah Simuntu ini dapat diartikan sebagai sebutan atau panggilan untuk orang yang berpakaian terbuat dari ijuk maupun karisiak (daun pisang yang sudah mengering). Selain itu muka ditutupi dengan topeng yang terbuat dari kertas karton dan dilukis dengan seram. Jika diartikan Secara etimologis Simuntu terdiri dari dua suku kata yaitu si dan muntu, si itu sendiri menyatakan seseorang dan muntu dalam bahasa Minangkabau berarti pisau yang sudah tumpul, kata tumpul dapat di artikan sebagi bodoh. Jika dipahami Simuntu merupakan orang yang berpakain jelek dan sekaligus bodoh. Kehadiran Simuntu mengajarkan kepada anak-anak bahwa hantu itu tidak ada. Ketika seorang anak menyaksikan pertunjukan Simuntu, sebelumnya sudah di berikan pemahaman oleh orang tuanya, bahwa yang ada di dalam sosok yang mengerikan tersebut hanyalah manusia pada umumnya. Sehingga perasaan takut akan sosok gaib yang ada di fikiran anak- anak akan teralih kepada sesuatu yang nyata. Simuntu sendiri terbuat dari bahan karisiakatau ijuk, akan tetapi sekarang simuntu lebih banyak ditemukan menggunakan bahan terbuat dari karisiak alasannya jika memakai ijuk akan terasa panas bahkan juga ditemukan simuntu dengan kostum gorilla lengkap dengan topengnya.
Dalam penampilannya Simuntu dimeriahkan dengan musik tradisional Minangkabau seperti tambua tansa, talempong, pupuik bansi. Semua kalangan terlibat dalam kegiatan, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Simuntu menjadi pusat perhatian dan sesekali menghampiri penonton dengan tujuan menakuti. Sesuai dengan perawakannya yang dimaknai masyarakat sebagai sosok yang mengerikan, namun masyarakat terhibur dengan hal tersebut. Dari keterangan yang diperoleh kegiatan ini rutin dilaksanakan pada saat hari Raya Idul Fitri selama tiga hari berturut-turut diselingi dengan kegiatan meminta sumbangan kepada para perantau yang datang. Mereka keliling kampung untuk meminta sumbangan. Pendapatan yang diperoleh akan digunakan untuk pembangunan nagari. Akan tetapi saat sekarang ini Simuntu lebih cenderung digunakan sebagai untuk meminta sumbangan atau dikenal dengan sebutan (Manambang) kemudian uang yang diperoleh digunakan untuk kepentingan pribadi. Melalui pengamatan terhadap realitas yang terjadi penulis dapat menyimpulkan bahwasannya kesenian Simuntu sebagai bentuk tradisi kesenian yang ekslusif tidak lagi ditonjolkan, orientasi masyarakat juga turut bergeser hal ini mengakibatkan perubahan fungsi pada tradisi tersebut
            Saat ini masyarakat Koto Gadang tidak lagi menggunakan Simuntu seperti sebelumnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa perkembangan tradisi Simuntu telah mengalami perubahan, baik itu dari segi materil maupun gagasan. Kegiatan Simuntu yang biasanya dilakukan oleh seluruh kalangan umur sekarang hanya dilakukan oleh anak-anak dan remaja mulai dari umur 6 hingga 17 tahun. Dari segi pertunjukannya tidak lagi seperti dulu, tidak ada lagi iringan musik tradisional, tidak adalagi gerakan-gerakan khas simuntu yang menghibur masyarakat. Uang hasil kegiatan tidak lagi di sumbangan untuk nagari, serta kegiatan tidak lagi terorganisir. Menurut Kingsley Davis, perubahan sosial diartikan sebagai perubahan-perubahanyang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat.3 Perubahan sosial di dalam suatu masyarakat juga akan di ikuti oleh perubahan budaya. Tidak bisa dipungkiri bahwa perubahan sosial dala masyarakat Koto Gadang juga akan mempengaruhi perkembangan tradisi Simuntu. Perkembangan tradisi Simuntumemberikan isyarakat terhadap perkembangan masyarakat setempat. Oleh karena itu penulis memiliki rasa ingin tahu terhadap tradisi Simuntu.Faktor yang mempengaruhi perubahan fungsi serta bentuk perubahan tradisi simuntu. Semoga melalui karya tulis ini pembaca maupun penulis dapat memahami bagaimana tradisi Simuntuini mampu beradaptasi dengan tekanan yang terjadi dalam struktur masyarakat.
            Penelitian ini bertujuan dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan perkembagan Tradisi Simuntu dan mengungkapkan bagaimana proses perubahan tradisi Simuntu serta Faktor apa yang menyebabkan terjadinya perubahan fungsi dalam Tradisi Simuntu.Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah; (1) secara teoritis, penelitian ini diharapkan memberikan manfaat pertama menghasilkan tulisan ilmiah diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan peneliti dan
pembaca tentang adanya perubahan fungsi Tradisi Simuntu, Kedua dapat dijadikan landasan untuk penelitian yang leih mendalam; (2) secara praktis penelitian ini diharapkan menjadi bahan rujukan
dalam penelitian sejenis selanjutnya.
            Penelitian Ini dianalisis melalui teori Struktural Fungsional Talcot Parsons, yaitu teori perubahan tindakan. Asumsi dasar teori ini adalah tindakan individu atau masyarakat dipengaruhi oleh keadaan struktur sosial masyarakat itu sendiri. Dalam penelitian ini dapat dilihat pada perubahan tindakan individu di dalam masyarkat yang disebabkan oleh sistem sosial dan sistem kultural yang berubah metode penelitian.
            Penelitian ini dilakukan di Nagari Koto Gadang VI Koto, tepatnya di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam. Adanya fenomena perubahan fungsi dari tradisi Simuntu merupkan daya Tarik peneliti untuk melakukan penelitian ini. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif, yang berusaha mengungkapkan realitas yang ada dilapangan. Teknik pengambilan informan yaitu dengan purposive sampling. Penarikan informan penelitian dilakukan dengan sengaja dan peneliti menentukan sendiri kriteria informan penelitian yaitu orang yang terlibat maupun mengamati tradisi ini. Mulai dari pelaku tradisi Simuntu, ninik mamak, ketua KAN dan perangkat nagari lainya. Setelah melakukan penelitian informan berjumlah 20 orang.
          Teknik pengumpulan data yang dilakukan penelitian ini adalah dengan menggunakan observasi, wawancara, dan studi dokumentasi.Jenis observasi dalam penelitian ini adalah observasi aktif, dimana peneliti terlibat langsung didalam objek penelitian. Observasi pasif, sewaktu pengumpulan data peneliti mengamati aktivitas informan dalam setiap kegiatan yang dilakukan pelaku tradisi Simuntuselama kegiatan berlangsung,Dalam kegiatan observasi peneliti banyak menemukan fakta-fakta menarik tentang tradisi Simuntu namun karna keterbatasan waktu peneliti hanya membahas sesuai dengan yang telah dirumuskan. Para pelaku simuntu menyambut dengan baik kehadiran peneliti ditengah-tengah kegiatan yang dilangsungkan. serta mengamati lingkungan sekitar, kondisi tempat dan lingkungan yang sedang terjadi. Wawancara yang dilakukan peneliti adalah wawancara mendalam (Indeptinterview) dan wawancara bersifat bebas. Wawancara mendalam dilakukan kepada setiap informan yang dipilih dalam puposive sampling, pertanyaan yang diberikan kepada informan sesuai dengan pedoman wawancara yang telah disediakan. Dengan poin-poin wawancara. Poin- poin wawancara tersebut dikembangkan lagi dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan perubahan fungsi serta faktor penyebab terjadinya perubahan dalam tradisi Simuntu di Nagari Koto Gadang VI Koto. Untuk melengkapi data dokumentasi dilakukan dengan mengambil foto-foto, merekam suara, atau pun merekam video, catatan harian observasi dan catatan harian wawancara terkait dengan rumusan masalah. Untuk menguji keabsahan data peneliti menggunakan teknik triangulasi data. Jenis triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu triangulasi sumber.
 
B.            Hasil dan pembahasan Hasil
            Peneliti mengelompokan fase perubahan tradisi Simuntu menjadi dua yaitu fase zaman kolonialisme belanda hingga orde baru dan fase orde baru hingga sekarang (2018). Pada fase awal tradisi ini masih sebagai sebuah kesenian rakyat yang ekslusif. Ditambah dengan sikap gotong royong masyarakatnya dalam mengangkat kegiatan Simuntu. Sulitnya memperoleh bahan baku pembuatan kostum Simuntu membuat masyarakat setempat bahu membahu untuk mencarinya ke dalam hutan. Selain itu pelaksanaan tradisi ini masih dikelola oleh perangkat nagari. Sesuai dengan aturan adat yang berlaku. Dalam fungsinya tradisi ini bertujuan untuk mengumpulkan uang dari perantau atau masyarakat setempat guna pembangunan Nagari, seperti jalan raya, surau, lapangan sepak garo, dan lain-lain. Menurut sumber yang diperoleh tradisi Simuntudahulunya termasuk ke dalam seni pertunjukan rakyat. Minimnya sarana hiburan dimasanya membuat Simuntumenjadi pilihan utama. Dengan tingkahnya yang kocak ditambah dengan kostum yang unik simuntu menjadi badut yang mengundang gelak tawa penontonnya. Kemudian dari segi alat musik yang digunakan tergolong lengkap. Seperti gendang tambua, tansa, talempong, dan pupuik bansi. Jika disimpulkan dalam fase ini tradisi Simuntu memiliki fungsi sebagai sarana hiburan tradisional sekaligus alat dalam mengumpulkan dana guna pembangunan nagari.
            Proses perubahan tradisi simuntu juga bisa kita lihat melalui fase Orde baru hingga sekarang (2018) dari berbagai aspek banyak perubahan yang ditemukan. Dalam fase ini tradisi Simuntu tidak bisa dikatakan sebagai kesenian rakyat yang ekslusif. Dikarenakan alat musik pendukung tidak lagi digunakan. Fungsinya berbeda dengan fase awal, pelaku simuntu menjadikan tradisi ini sebagai alat untuk memperoleh pendapatan guna kebutuhan pribadi. Dari segi pelaksanaan tidak lagi dikelola oleh pihak nagari, sehingga kegiatan menjadi tidak teroganisir. Pelaku tradisi simuntu tidak lagi orang dewasa. Melainkan anak-anak hingga remaja. Uang yang diperoleh tidak lagi disumbangkan kepada nagari, tetapi digunakan untuk pemenuhan kebutuhan pribadi.
            Adapun faktor penyebab dari perubahan tersebut peneliti membagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Kondisi internal masyarakat setempat juga menjadi salah satu penyebab terjadinya perubahan dalam tradisi ini. Salah satunya adalah Kondisi sosial budaya, masyarakat hidup dalam berbagai kondisi seiring perkembangan zaman. Sebuah nilai yang dianut masyarakat dapat mengalami pergeseran tergantung bagaimana kondisi struktur sosial masyarakat. kondisi ini mempengaruhi bagaimana masyarakat dalam bertindak. Selain kondisi sosial budaya, pengetahuan masyarakat terhadap tradisi ini juga menentukan bagaimana upaya dalam mempertahankan nilai. Dalam penelitian yang dilakukan didapati minimnya pengetahuan masyarakat terhadap tradisi ini. Dalam kasus ini berdampak kepada bagaimana proses sosialisasi tradisi hingga pembudayaan dalam masyarakat. analisisnya ketika hal ini terjadi maka pewarisan tradisi tidak akan sempurna sehingga mengakibatkan adanya perubahan dalam tradisi tersebut. Faktor internal lain yang megakibatkan perubahan tradisi ini adalah tuntutan ekonomi masyarakat setempat. Tradisi simuntu saat ini dilaksanakan di saat memontum lebaran Idul Fitri. Moment ini menjadi kesempatan bagi pelaku simuntu. ditambah lagi dengan kebutuhan yang meningkat saat lebaran idul fitri. Dengan demikian pelaku simuntu mensiasatinya dengan meminta sumbangan ke perantauan atau pengguna jalan raya. Uang yang diperoleh dibagi kemudian digunakan untuk kebutuhan pribadi.
            Sedangkan yang menjadi faktor eksternal yaitu kebijakan pemerintah pusat. Secara tradisional masyarakat Minangkabau hidup secara berkelompok dalam suatu ikatan genealogis dan territorial yang otonom dengan sistem pemerintahan yang bersifat kolektif berdasarkan hukum adat. Kesatuan ini disebut dengan pemerintahan Nagari. Pemerintahan nagari yang telah ada pada masyarakat Minangkabau nyaris hilang secara De Jure sejak diberlakukannya kebijakan UU Nomor 5 Tahun 1979. Mengenai bentuk pemerintahan terendah yaitu desa. Sehingga Nagari terpecah kedalam bentuk desa. Hal ini membuat nagari-nagari maupun desa di seluruh Indonesia mengalami perubahan yang mendasar semenjak Orde Baru. Masyarakat Nagari Koto gadang mengalami distorsi dalam sistem sosial maupun budaya yang telah lama mereka anut. Nagari Minangkabau kehilangan eksistensi lembaga adat yang mengatur segala hukum adat. Namun di sisi lain pembangunan menjadi pusat perhatian pemerintah sehingga menjadikan masyarakat nagari Koto Gadang antusias dalam pemanfaatan dana pembangunan daerah dari pemerintahan pusat.
            Jatuhnya rezim pemerintahan orde baru telah membawa perubahan dari sentralistik ke desantralistik. Pemerintah kemudian mengeluarkan UU Nomor 22 tahun 1999 yang memberikan peluang untuk kembali ke sistem pemerintahan nagari. Hal ini tidak serta merta mengembalikan sepenuhnya nilai-nilai yang terkandung dalam pemerintahan nagari sebelumnya. Akibatknya munculnya nagari dengan sistem pemerintahan yang modern. Munculah dualisme dalam lembaga pemerintahan yaitu KAN dan Wali Nagari. KAN mengurusi perihal adat dan wali nagari menurusi administrasi pemerintahan. Silih bergantinya kebijakan pusat mengakibatkan tradisi Simuntu kehilangan lembaga yang biasanya menjadi pegelola kegiatannya. A.A, Navis melihat dan mengemukaan bahwa kehilangan nagari dalam lokus masyarakat Minangkabau, pada dasarnya telah mengakibatkan degregasi dan distorsi nilai dalam masyarakat tersebut.5 Tidak hanya pada lingkup kebudayaan besar pada masyarakat minangkabau, perubahan ini juga berdampak pada tradisi kesenian seperti tradisi Simuntu.
            Kondis perkembangan zaman juga menjadi faktor penyebab perubahan tradisi Simuntu. Inilah yang terjadi dalam kehidupan masyarakat nagari Koto Gadang. Saat sekarang tidak ada hambatan dalam mengakses konten hiburan, semuanya dalam gengaman. Anak-anak sekarang lebih menyukai permainan game online, dan orang dewasa lebih menyukai tayangan di Televisi. Dalam hal berkomunikasi tidak lagi dibatasi ruang dan waktu. Beragam sosial media dapat diakses melalui ponsel canggih masa kini. bagi masyarakat tradisional kebersamaan merupakan hal yang penting pesta rakyat, pentas seni, hingga pertunjukan yang sifatnya tradisional menciptakan harmonindalam keakraban masyarakat. Perubahan tindakan masyarakat menentukan bagaimana perkembangan sebuah tradisi. Dengan demikian kondisi sosial dan budaya sangat menentukan bagaimana masyarakat bertindak terhadap unsur-unsur kebudayaannya. Akibat dari perubahan tindakan tersebut maka mempengaruhi fungsi serta bentuk dari tradisi Simuntu.

C.          Pembahasan
            Perubahan Sosial menurut Mac Iver merupakan bagian dari perubahan-perubahan dalam hubungan sosial atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan hubunga sosial. Perubahan sosial juga dapat diartikan segala pergeseran dalam struktur maupun proses sosial meliputi aspek sosial dan budaya. Dalam memahami perubahan sosial kita tidak bisa lepas dari pembahasan waktu. Masyarakat ada setiap saat dari masa lalu hingga ke masa depan. Untuk mengkaji perubahan melalui aspek dimensi waktu terlebih dahulu kita peru mengkaji kondisi pada masa lalu, seprti yang dikutip dalam buku karangan Piotr Sztopmka “dalam memahami dinamika sebuah tradisi pertanyaan lebih mendasar bukan mengapa tradisi tersebut berubah, tetapi mengapa tradisi itu ada dan untuk apa” (2004: 74). Tradisi Simuntu sendiri merupakan tradisi kesenian asli dari daerah Minangkabau. Jauh sebelum Indonesia merdeka sejumlah kesenian tradisional Minangkabau masih tetap dilaksanakan dalam bentuk yang ekslusif namun seiring berjalannya waktu serta kebutuhan masyarakat yang kian kompleks, dalam perkembanganya suatu tradisi akan mengalami perubahan, baik itu dalam segi bentuk maupun fungsi. Perubahan Fungsi merupakan peralihan atau keadaan yang berubah. Perubahan fungsi yang dimaksud adalah perubahan-perubahan yang terjadi karena adanya perubahan pola pikir masyarakat yang semakin berkembang.
Menurut Parsons, tindakan individu atau kelompok dipengaruhi oleh kondisi struktur sosial mayarakatnya. Dalam hal ini erat kaitannya dengan skema AGIL yang dikemukakannya sebelumnya. Individu memiliki peranan dalam mengambil tindakan dalam rangka menjaga keseimbangan sistem. Parsons dalam teori perubahan tidakannya mengelompokan tipe tipe tindakan menurut kondisi masyarakat. Teori ini kemudiaan menjadi pisau analisis peneliti, dapat dilihat bagaimana proses perubahan tindakan masyarakat sesuai dengan pengelompokannya. Affective versus Affective Neutrality Tradisi Simuntu sebelumnya tradisi Simuntu digunakan sebagai hiburan tradisional lengkap dengan musik tradisional. Namun pada saat sekarang ini tradisi Simuntu dilaksanakan tanpa adanya suasana yang merajuk ke iburan tradisional. Artinya masyarakat mengadakan kegiatan tanpa adanya unsur pemenuhan kebutuhan emosional, akan tetapi lebih cendrung digunakan sebagai pemenuhan kebutuhan ekonomi. Collective orientation Versus Self-Orientasi sebelumnya tradisi Simuntu digunakan sebagai media dalam meminta sumbangan kepada perantau yang pulang dan hasil dari pendapatan tersebut akan disumbangkan ke kas nagari guna pembangunan infrastruktur nagari.
            Pada saat sekarang ini masyarakat Koto Gadang melaksanakan tradisi simuntu tetap melakukan kegiatan meminta sumbangan namun digunakan untuk kepentingan pribadi. Ini adalah bentuk adaptasi yang dilakukan masyarakat, sehingga tujuan utamanya agar tradisi ini masih tetap hidup dan berkebang di nagari tersebut. Universalism versus particularism. Melaksanakan tradisi ini bagi masyarakat nagari Koto Gadang adalah sebuah rutinitas. Seluruh masyarakat lebur dalam suasana kebahagiaan dalam penampilan Simuntu di hiburan-hiburan rakyat yang diselenggarakan Nagari. Baik itu pihak nagari sebagai pengawas dan masyarakat sebagai pelaku dan partisipasi dalam tradisi. Dahulunya kriteria dalam pelaksanaan tradisi simuntu harus orang dewasa sebagai pelaku, kemudian pemeran dari simuntu sendiri adalah orang yang memiliki keterbelakangan mental. Hal ini dikarenakan untuk menjadi simuntu adalah suatu hal yang dinggab memalukan. Namun pada saat sekarang ini pelaku tradisi simuntu hanya dilakukan oleh kalangan anak-anak dan remaja, dan untuk pelakunya dilakukan oleh orang-orang normal, karena untuk menjadi pemeran simuntu tidak lagi dianggap hal yang memalukan. Dalam momentum lebaran anak-anak dan remaja memanfaatkan kedatangan perantau untuk mendapatkan keuntungan dikarenakan di moment hari raya Idul Fitri anak-anak dan remaja memiliki kebutuhan yang tidak seperti biasanya, misalnya membeli baju lebaran, uang jajan saat lebaran yang meningkat, dan membeli mainan ataupun asesoris lainnya. Hal ini menunjukan kebutuhan sistem ketika berhubungan dengan lingkunganya.
            Quality versus performance hari ini simuntu hanya dimainkan oleh beberapa kelompok yang rata rata pemuda nagari. Permainan simuntu tiadak lagi diiringi musik-musik tradisional. Melainkan dengan lagu yang diputar oleh pengeras suara. Saat penampilan simuntu hanya menari ditepi jalan kemudian beberapa pengering memakai kardus untuk menghentikan kendaraan yang lewat dan meminta sumbangan.Diffusness Versus SpecifitySimuntu bersifat diffusness, dalam penyelenggaraan tradisi simuntu dibutuhkan property, peralatan, dan komponen-komponen yang sulit didapatkan. Simuntu membutuhkan banyak ijuk yang pada masa itu hanya bisa ditemukan di hutan. Oleh karena itu dibutuhkan banyak waktu. Dan tradisi Simuntu pada saat sekarang ini lebih bersifat spesifik, karena tradisi simuntu digunakan untuk meminta sumbangan guna memperoleh keuntungan pribadi dan bukan lagi untuk kepentingan kebersamaan dan fungsi hiburan. Selain itu pelaksanaan tradisi simuntu bersifat terbatas karna dilakukan hanya oleh kalangan anak anak dan remaja dalam bentuk kelompok-kelompok kecil dalam masyarakat Koto Gadang.
            Penutup Jika dianalisis dengan teori perubahan tindakan dalam paradigma struktural fungsional menekankan bahwa segala tindakan individu terjadi akibat dari kondisi struktur sosial masyakat dengan tujuan tetap menjaga sistem dalam kondisi yang seimbang. Namun dalam upaya mencapai kondisi tersebut sistem mutlak harus memiliki kemampuan adaptif, meskipun didalamya ditemukan perubahan dalam hal ini sifatnya evolusi. Maka dari hasil penelitian telah dijelaskan bahwa perubahan tradisi simuntu diakibatkan oleh perubahan tindakan masyarakat yang dilatarbelakangi kondisi-kondisi baik itu internal maupun eksterna.penelitianini bertujuan untuk mendeskripsikan perkembagan Tradisi Simuntu dan mengungkapkan bagaimana proses perubahan tradisi Simuntu serta Faktor apa yang menyebabkan terjadinya perubahan fungsi dalam Tradisi Simuntu.

Daftar pustaka

Burhan Bungin.(2003).Data Penelitian Kualitatif. Jakarta. PT Rsaja Grafindo Persada.
Sztompka, Piort. (1993). Sosiologi Perubahan Sosial. Trj. Alimandan. Jakarta: Prenada Media.
Dt, Tumandaro. (2014). Monografi Adat Nagari Koto Gadang VI Koto. Padang: Arema
Ibrahim.(2010). Kembali ke Nagari Rekonstruksi Masyarakat: Adat Basandi Syarakat, Syarak Basandi Kitabullah.Padang:Al Humayah, Vol 11
Radjab, Muhammad. (1954) Perang Paderi di Sumatra Barat. Jakarta. Perpustakaan Perguruan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa itu Seni? Sebuah Pendekatan Ontologi

Kampus tidak Selucu itu (Refleksi dan Proyeksi)